Sabtu, 07 Agustus 2010

sumber inspirasi

Sukarno, Berbagi Ilmu Beternak Kelinci


Sekalipun hanya lulus sekolah dasar, Sukarno Munawar piawai dalam beternak kelinci. Kepandaiannya mengurus hewan ini mengundang minat dari berbagai kalangan, mulai dari sesama peternak kelinci, pelajar sekolah menengah kejuruan, sampai peneliti bergelar S-2 dan S-3 dari Balai Penelitian Ternak. Mereka ”berguru” budidaya kelinci kepadanya.

Mereka datang dari Bogor, Bandung, Bali, sampai Nusa Tenggara Barat. Mereka menemui Sukarno yang tinggal di lereng Gunung Merbabu, Dusun Klabaran, Desa Sumberejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, atau sekitar 20 kilometer dari Kota Magelang.

Sekali datang, rombongan yang ingin belajar budidaya ternak kelinci itu bisa lebih dari 20 orang. Saat menerima mereka, sebenarnya dia malu. Sebab, ruang tamunya yang berukuran 6 x 5 meter itu membuat para ”murid” harus berdiri berjejalan sambil mendengarkan penjelasannya. Bahkan, saat hujan deras, suasana belajar terganggu dengan bocor di sana-sini.

”Saya bersyukur karena mereka tetap antusias mendengarkan penjelasan sampai selesai,” ceritanya. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang mengikuti pembelajaran dan pelatihan dari Sukarno selama dua-tiga hari.

Pengalamannya selama 18 tahun bergelut dalam usaha ternak kelinci berawal dari program pemberian bantuan 25 kelinci Australia dari pemerintah ke Kecamatan Ngablak pada 1992. Karena warga Kecamatan Ngablak yang mayoritas petani sayur tak tahu cara merawat kelinci, banyak kelinci yang mati.

Penasaran dengan kondisi itu, Sukarno yang tak mendapat jatah bantuan kelinci kemudian membeli lima kelinci yang masih hidup seharga Rp 125.000. Dari kelima kelinci itu, empat di antaranya betina.

Waktu itu, tindakan Sukarno menjadi bahan tertawaan warga sekitarnya. ”Kata mereka, kalau ingin kaya dan sukses, seharusnya saya menabung untuk beli kambing atau sapi, bukan beli kelinci,” ujarnya.

Mengikuti pelatihan

Namun, Sukarno justru yakin, tekadnya beternak kelinci bakal menuai sukses. Menyadari pengetahuannya tentang beternak kelinci tak ada, ia rajin mencari informasi tentang pelatihan beternak kelinci. Ia merogoh kocek untuk mengikuti pelatihan sampai ke Surabaya dan Malang, Jawa Timur.

Lima bulan pertama, dari empat kelinci betina itu, seekor di antaranya beranak 5-7 ekor. Ia lalu bisa menjual 20-30 kelinci anakan. Kelinci itu dijual sebagai bibit. Harga satu paket bibit, terdiri dari tiga kelinci usia 2-3 bulan, Rp 100.000.

Jika pembeli menghendaki sepasang kelinci, harganya Rp 60.000. Jika pembeli ingin membeli kelinci betina saja, harganya Rp 40.000 dan har- ga kelinci jantan Rp 20.000 seekor.

”Hanya dalam dua bulan, modal saya sudah kembali,” kata Sukarno yang waktu itu juga menjual kelinci berumur 35-45 hari.

Namun, kematian juga terjadi pada sebagian kelincinya. Hal itu tidak sampai membuat tekadnya beternak kelinci surut. Pada bulan keenam, dia mulai mengembangkan usaha. Sukarno menambah jumlah indukan hingga mampu mendapat 70 kelinci anakan per bulan.

Waktu itu, sebagai satu-satunya peternak kelinci di Dusun Klabaran, Sukarno harus berjuang sendiri. Baru sekitar

tahun 1998 lima warga lainnya berminat setelah melihat sukses yang diraihnya. Mereka lalu membeli kelinci dari Sukarno dan mulai beternak kelinci.

Melihat semakin banyak tetangga yang berminat beternak kelinci, pada 2001 Sukarno membentuk Kelompok Ternak Kelinci Sumber Makmur di Dusun Klabaran. Dari total 140 keluarga di Dusun Klabaran, 85 orang di antaranya anggota Kelompok Ternak Kelinci Sumber Makmur. Total populasi kelincinya sekitar 1.600 ekor.

Setelah membentuk kelompok, Sukarno mendekati Dinas Peternakan dan Paguyuban Peternak Kelinci Magelang untuk memperkenalkan Kelompok Ternak Kelinci Sumber Makmur. Tujuannya, agar kelompoknya semakin dikenal orang dan diikutsertakan dalam pameran dan berbagai program pembinaan.

Adanya kelompok peternak itu rupanya berhasil memicu gairah beternak kelinci di desa-desa lain. Sejak tahun 2008 Sukarno menjadi Ketua Asosiasi Ternak Kelinci Merbabu yang beranggotakan 1.400 peternak kelinci di 16 desa di Kecamatan Ngablak. Total populasi kelincinya 16.000 ekor.

Memasarkan

Tak beda dengan awal memulai beternak kelinci, usaha memasarkan kelinci pun dimulai Sukarno dengan susah payah. Awalnya, dia menawarkan kelinci kepada warga di desa tetangga. Setiap kali ada pertemuan kelompok petani sayur tingkat desa ataupun kecamatan, dia manfaatkan untuk berpromosi.

”Kalau kebetulan menengok kerabat di desa atau kecamatan lain, saya sekalian berusaha menceritakan soal ternak kelinci. Harapannya, mereka berminat membeli kelinci,” ujar Sukarno.

Dia juga rajin mendatangi pasar-pasar hewan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Magelang. ”Dalam hati, saya memotivasi diri sendiri supaya tidak kapok ke pasar sekalipun di pasar belum tentu ada yang mau beli kelinci.”

Namun, semua itu merupakan cerita masa lalu. Sekarang Sukarno dan Kelompok Ternak Kelinci Sumber Makmur kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Mereka bahkan tak mampu memenuhi permintaan yang datang dari sejumlah kota di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Setiap bulan rata-rata permintaan kelinci anakan mencapai 500 ekor. Sementara produksi mereka masih sebanyak 200-300 ekor.

”Jadi, terkadang kami pun terpaksa meminta tambahan dari kelompok ternak kelinci di desa lain atau bahkan dari kecamatan lain,” ujar Sukarno.

Setelah sukses berbudidaya kelinci, Sukarno ingin membagikan ilmunya kepada orang lain. Ada undangan atau tidak, dia rutin bepergian ke luar kota meski sekadar menghadiri pertemuan kelompok tani untuk memaparkan usaha ternak kelinci.

Perjalanan itu dia lakukan sampai ke daerah Sleman, DI Yogyakarta, Temanggung, Purworejo, serta beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Magelang. Untuk semua perjalanan dan informasi itu, Sukarno tidak meminta imbalan.

”Bisa membagi ilmu kepada orang lain itu sudah mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi saya,” ujar Sukarno kalem.
http://cetak.kompas.comenin, 10 Mei 2010 | 03:02 WIB Oleh Regina Rukmorini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar